Untuk Indonesia Ku
Samarinda, 17 Agustus
2017
Kepada Yth.
Negaraku Indonesia
Hai, Indonesia ku
Perkenalkan, aku seorang
mahasiswa yang belum dapat memberikan apa pun di hari jadi mu yang ke 72 ini. Namun
aku ingin turut serta memberikakan hadiah kecil untukmu berupa surat kecil ini.
Sejujurnya, aku sangat bahagia, hidup di tanah ibu pertiwi ini, namun
akhir-akhir ini aku cukup terganggu dengan beberapa oknum yang juga hidup dan berbagi
tanah ibu pertiwi dengan ku.
Jujur saja, aku sangat bangga dengan segala adat, budaya, kuliner, lingkungan serta ‘kebiasaan aneh’
yang ada di negeri ini. Apalagi, di era milenial seperti sekarang ini, sudah terdengar
gaung mu Indonesia, di negeri seberang. Sudah banyak putera puterimu yang
mengharumkan namamu di kancah international. Sudah banyak tetanggamu yang iri
dengan mu sehingga membuat mereka mencuri yang engkau miliki.
Namun aku cukup
perihatin dengan apa yang terjadi pada mu akhir akhir ini.
Memang semboyan yang
engkau miliki adalah ‘bhineka tunggal ika’ namun engkau pasti sedih dengan apa
yang terjadi akhir-akhir ini, banyak perpecahan yang terjadi, banyak oknum yang
tidak dapat menghargai perbedaan, banyak orang yang saling berdebat bahwa apa
yang mereka ‘miliki’ adalah yang paling benar. Kebebasan berpendapat-pun sekarang sudah
sangat jarang ditemukan, karena banyaknya orang yang sensitif akan perbedaan
dan berujung dengan permusuhan. Padahal sudah jelas isi dari semboyan yang
miliki adalah tidak adanya perbedaan, kita semua sama, kita semua sederajat,
kita semua saudara, kita semua satu. Apakah putera-puterimu sudah tidak dapat
lagi saling menerima dan menghargai perbedaan yang ada, Indonesia? Apakah putera
puterimu harus terus saling berdebat dan menjatuhkan satu sama lain akan
perbedaan mereka? Tolong Indonesia, ingatkan lagi, mereka akan nilai moral yang
terkandung dalam semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ mu.
Tidak hanya perbedaan
yang memecah belah putera puterimu, namun kualitas moral anak bangsa-pun menurun,
banyak generasi muda yang sudah tidak memegang teguh norma-norma yang ada
dengan beralasan “mengikuti norma yang ada, adalah hal yang kuno”. Memang, di
era seperti sekarang ini, dimana teknologi menjadi ‘tuhan’ bagi banyak orang, hal tersebut dianggap biasa,
dan jujur aku pun menjadi salah satu puteri-mu yang mulai kehilangan norma yang
ada. Banyak sekali tayangan-tayangan yang membawa anak-anak melewati batas
imajinasi yang akan merusak selubung otak kiri mereka, tidak hanya melalui layer
televisi, namun banyak sekali hal-hal yang seharusnya tidak dilihat ataupun
didengar oleh anak-anak seusia mereka, dapat diakses dengan sangat mudah dan cepat, bahkan hanya dengan hitungan detik. Tidak ada
lagi tanah lapang yang berisi sekelompok anak kecil bermain layang-layang,
galasin, ataupun petak umpet sehabis pulang sekolah hingga petang tiba. Semua itu
tergantikan dengan hadirnya benda pipih yang dapat mereka bawa kemana-mana dan dapat membawa mereka kemanapun mereka ingin.
Korupsi pun menjadi hal
yang biasa sekarang ini Indonesia-ku, setiap pagi selalu saja ada kasus korupsi
yang terpampang di koran-koran. Pejabat, gubernur, wakil rakyat, bahkan yang
terbaru adalah pengusaha yang menipu ribuan pelanggannya, mereka semua seolah
berlomba-lomba untuk mengambil yang bukan hak mereka. Walau sudah banyak yang
tertangkap basah, tetap saja selalu muncul kasus-kasus korupsi yang baru. Merekalah
orang-orang yang menggunakan namamu demi kepentingan mereka sendiri. Orang-orang
tak bertanggung jawab yang mengambil keuntungan darimu, mereka mengambil
kekayaanmu dan merampas hak orang lain. Merekalah, oknum-oknum yang merusak
nama baikmu dimata dunia, orang orang yang seolah lupa dimana mereka berpijak. Mengapa
kasus-kasus tersebut seolah tidak ada habisnya? Biar ku beri tahu dengan jujur,
Indonesia. Sekarang ini keadilan sulit ditegakkan, kebenaran ditutup-tutupi, kejujuran menjadi hal yang tabu. Memang
engkau adalah negara hukum, tapi maaf Indonesia, lagi lagi aku harus memberi
tau mu kenyataan pahit, bahwa yang terjadi sekarang ini adalah hukum yang
mengatasnamakan dirimu, telah dimanipulasi pula oleh orang-orang yang hati
nuraninya sudah tiada itu. Bahkan, saat ada putera-puterimu yang ingin
menegakkan keadilan, justru mereka yang mendapatkan ketidak adilan, entah itu
melalui sekedar melalui bullying di media sosial, prilaku kriminal, diskriminatif, fitnah yang berujung jeruji
besi, hingga pembunuhan.
Saat era milineal seperti sekarang ini sangat memudahkan setiap orang dalam berpendapat dan berkarya, ada sebagian putera-puterimu yang justru harus merasakan ketidakadilan. Mereka hanya ingin menyampaikan kejujuran yang tidak didengar oleh pihak yang bersangkutan. Mereka hanya ingin berkarya. Mereka hanya ingin bebas berekspresi, namun beberapa dari mereka harus berujung pada meja hijau, dengan dalih 'pencemaran nama baik' seperti yang dirasakan oleh salah satu komika, yang hanya ingin meminta hak-nya. Tidak hanya itu, yang paling menyakitkan dari seorang seniman justru adalah saat karya mereka tidak dihargai, dan bahkan dibajak. Benar Indonesia-ku, pembajakan saat ini bukanlah suatu hal yang tabu lagi.
Apakah hal-hal tersebut yang dinamakan merdeka? Memang, engkau sudah bebas dan tidak perlu takut lagi kepada negeri asing Indonesia, namun yang sungguh memprihatinkan justru engkau dijajah oleh orang-orang yang seakan lupa dimana mereka dilahirkan, dimana mereka berpijak, dari mana beras dan air yang mereka nikmati, kalau bukan dari tanah ini, tanah Ibu Pertiwi.
Mari kita saling berkaca dan tanyakan pada hati nurani masing-masing, apakah kita sudah memeberikan yang terbaik untuk negeri ini, ataukah justru kita malah merusak ibu pertiwi dengan ataupun tanpa kita sadari, tanpa kita harus saling menjatuhkan satu sama lain.
Mari kita saling berkaca dan tanyakan pada hati nurani masing-masing, apakah kita sudah memeberikan yang terbaik untuk negeri ini, ataukah justru kita malah merusak ibu pertiwi dengan ataupun tanpa kita sadari, tanpa kita harus saling menjatuhkan satu sama lain.
Namun aku yakin, engkau
sungguh tak selemah itu, Indonesia. Aku beserta putera puteri Ibu Pertiwi
lainnya, tidak akan membiarkanmu terluka terlalu lama. Kami akan menerbangkan
kembali burung garuda, kembali mengibarkan sang saka merah putih, kembali membuat ibu pertiwi
berseri. Percayalah! Dirgahayu Indonesiaku!
Dengan sepenuh
hati,
Dessydevin.